0 5 min 3 minggu

Oleh: CWW

 

Banyuwangi; Di balik layar pembangunan nasional, kontraktor memainkan peran vital sebagai pelaksana proyek yang mewujudkan visi infrastruktur. Namun, perjalanan seorang kontraktor dalam menjalankan tugasnya sering kali dibayangi oleh tekanan sistem dan birokrasi yang kompleks. Dari tahap awal mencari proyek, menjalankan pekerjaan, hingga proses pencairan dana, kontraktor acap kali diposisikan seolah sebagai “pengemis” di hadapan kuasa birokrasi dan oknum yang memegang kendali.

 

Di bawah kepemimpinan baru Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, muncul harapan agar terjadi perubahan fundamental dalam sistem pengadaan barang dan jasa konstruksi. Lebih dari sekadar penyesuaian regulasi, dibutuhkan transformasi yang menyeluruh, termasuk mekanisme baru yang berfokus pada profesionalisme dan keadilan bagi para kontraktor.

 

Tantangan Menjadi Kontraktor: “Mengemis” di Tengah Birokrasi yang Berbelit

 

Perjalanan seorang kontraktor dimulai dengan pencarian proyek yang tak jarang memerlukan lobi dan negosiasi yang sulit. Mereka harus melewati beragam persyaratan ketat yang tidak hanya berbasis kualitas dan kapabilitas, tetapi juga dipengaruhi oleh hubungan personal dengan pemilik anggaran. Alih-alih diperlakukan sebagai mitra profesional yang layak, kontraktor sering kali diposisikan sebagai pihak yang “mengemis” pekerjaan kepada birokrasi yang seharusnya mengutamakan prinsip transparansi.

 

Ketika pekerjaan dimulai, tantangan tidak berhenti di sana. Setiap tahap pelaksanaan proyek menempatkan kontraktor pada posisi yang rentan, di mana setiap persetujuan dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sering kali ditentukan oleh kepentingan tertentu. Ini bukan hanya soal menjalankan pekerjaan dengan baik, tetapi juga soal menjaga hubungan yang tidak seharusnya menjadi hambatan dalam penyelesaian proyek. Di sinilah birokrasi yang terlalu berbelit menciptakan situasi di mana kontraktor terpaksa tunduk pada tekanan yang seharusnya tidak perlu ada.

 

Setelah pekerjaan selesai, kontraktor kembali menghadapi birokrasi panjang dalam pencairan dana yang menjadi hak mereka. Proses administrasi untuk PHO (Provisional Hand Over) dan FHO (Final Hand Over) sering kali membuat mereka “mengemis” hak yang sudah seharusnya menjadi milik mereka. Di sinilah muncul dilema terbesar: ketika hak-hak kontraktor dipersulit, tak jarang mereka terpaksa memberikan gratifikasi atau “pelicin” demi memperlancar proses yang seharusnya berjalan sesuai aturan.

 

Harapan Regulasi yang Lebih Adil: Kontraktor Bukanlah Pelaku Kejahatan

 

Di tengah tekanan yang mendera, kontraktor terkadang berada dalam situasi di mana mereka dipaksa memberikan uang gratifikasi atau suap, bukan karena adanya niat jahat atau mens rea (sikap batin pelaku dalam melakukan perbuatan), tetapi karena mereka didorong oleh keadaan untuk mendapatkan pekerjaan dan mencairkan haknya. Dalam konteks ini, kontraktor sering kali menjadi korban dari sistem yang tidak adil, di mana mereka yang berusaha mempertahankan keberlangsungan usaha dan hak pekerjaannya harus berhadapan dengan dilema yang merugikan.

 

Kami berharap pemerintahan Prabowo-Gibran mempertimbangkan regulasi baru yang lebih adil dan realistis, di mana kontraktor yang terbukti tidak memiliki niat jahat dalam memberikan gratifikasi atau suap – namun terpaksa oleh tekanan situasional – tidak diproses atau ditangkap secara hukum. Penerapan prinsip mens rea perlu menjadi pertimbangan penting dalam menentukan keterlibatan kontraktor dalam kasus-kasus yang melibatkan gratifikasi atau suap, agar mereka yang menjadi korban keadaan tidak harus dihukum seolah mereka pelaku kejahatan.

 

Kolaborasi untuk Pembangunan yang Lebih Transparan dan Efisien

 

Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran memiliki peluang besar untuk menata ulang sistem pengadaan barang dan jasa konstruksi yang lebih adil dan proaktif dalam mendukung kontraktor sebagai mitra pembangunan. Penguatan regulasi, termasuk Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No. 12 Tahun 2021, adalah langkah awal. Namun, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh untuk memastikan bahwa regulasi ini tidak hanya menjadi beban birokrasi tambahan, tetapi mampu mencegah praktik-praktik yang merugikan pihak kontraktor.

 

Selain itu, diperlukan sanksi tegas terhadap ASN yang terbukti menggunakan kekuasaan mereka untuk mengendalikan kontraktor boneka, atau mengambil keuntungan pribadi dari sistem pengadaan. Pemerintah harus menunjukkan keberanian untuk memberantas oknum-oknum ASN yang menggerogoti sistem dan memastikan agar hanya kontraktor yang benar-benar profesional yang mendapatkan akses terhadap proyek-proyek strategis pemerintah.

 

Masa Depan yang Lebih Berkeadilan bagi Kontraktor

 

Ke depan, kolaborasi yang lebih bersih dan transparan antara pemerintah dan masyarakat jasa konstruksi adalah kunci untuk menciptakan ekosistem pembangunan yang sehat. Dengan regulasi yang memperhatikan konteks dan situasi kerja kontraktor, kita dapat menciptakan lingkungan di mana kontraktor bekerja tanpa rasa takut dan tidak perlu “mengemis” hak mereka. Pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan dapat menciptakan era baru dalam pengadaan yang tidak hanya mengutamakan efisiensi, tetapi juga menjunjung tinggi keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

 

Kontraktor bukanlah penjahat; mereka adalah pilar pembangunan yang seharusnya didukung, bukan ditundukkan oleh sistem yang tidak berpihak. Mari kita berikan mereka ruang untuk berkarya secara profesional, dengan harapan pemerintahan ini akan membawa perubahan yang bermakna dalam ekosistem jasa konstruksi di Indonesia.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.