0 6 min 4 bulan

Jakarta – Korupsi masih menjadi ancaman serius dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Data terbaru dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi dalam sektor ini menempati peringkat kedua setelah penyuapan. Untuk menjawab tantangan tersebut, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2024. Surat ini memuat langkah-langkah konkret untuk mencegah korupsi di dua tahapan utama: pemilihan penyedia dan pelaksanaan kontrak.

Mengapa langkah ini penting? Karena pengadaan barang/jasa pemerintah tidak hanya melibatkan anggaran besar, tetapi juga memengaruhi kualitas layanan publik. Dengan pedoman yang lebih ketat, LKPP berharap dapat menciptakan proses pengadaan yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas korupsi.

 

Menilik Latar Belakang Surat Edaran

 

Dalam Surat Edaran ini, LKPP menyoroti data KPK yang mengungkapkan tingginya angka korupsi dalam pengadaan barang/jasa. Kepala LKPP, Hendi Prihadi, menyatakan bahwa pengadaan yang bersih bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal integritas para pelaku pengadaan. Oleh karena itu, surat edaran ini diharapkan menjadi panduan bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam mengelola pengadaan secara profesional dan etis.

 

Ruang Lingkup dan Dasar Hukum

 

Surat edaran ini memiliki cakupan yang jelas: fokus pada pemilihan penyedia dan pelaksanaan kontrak. Hal ini didukung oleh sejumlah regulasi penting, seperti Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah oleh Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Selain itu, LKPP juga mengacu pada aturan terkait e-katalog dan metode pengadaan elektronik lainnya. Kepastian hukum ini menjadi fondasi yang kokoh dalam mengarahkan praktik pengadaan menuju tata kelola yang lebih baik.

 

Pencegahan Korupsi dalam Pemilihan Penyedia

 

Tahap pemilihan penyedia sering kali menjadi celah bagi praktik-praktik yang tidak sehat. Surat edaran ini menawarkan solusi dengan dua pendekatan utama: E-purchasing dan Non E-purchasing.

 

1. E-Purchasing: Transparansi di Era Digital

Metode e-purchasing melalui e-katalog diatur untuk meminimalkan potensi korupsi. Salah satu caranya adalah dengan memperkenalkan mini-kompetisi dan negosiasi harga sebagai pendekatan yang lebih transparan. Mini-kompetisi, misalnya, memastikan bahwa penyedia barang/jasa bersaing secara sehat tanpa campur tangan pihak lain.

Lebih lanjut, LKPP mewajibkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pengadaan untuk menyusun analisis risiko dan melakukan mitigasi risiko korupsi. Mereka juga diinstruksikan untuk tidak menetapkan persyaratan yang diskriminatif, seperti keharusan memiliki rekening di bank tertentu atau lokasi kantor spesifik.

2. Non E-Purchasing: Menghindari Celah Korupsi Tradisional

Untuk pengadaan yang tidak menggunakan metode elektronik, pokja pemilihan diwajibkan bekerja sama dengan tim teknis atau ahli yang kompeten dan bebas dari konflik kepentingan. Mereka juga harus menghindari membuat persyaratan yang diskriminatif atau multitafsir.

Salah satu poin penting adalah larangan melakukan persekongkolan dalam bentuk apa pun, baik vertikal (antara pejabat pengadaan dengan penyedia tertentu) maupun horizontal (antarpenyedia). Langkah ini diharapkan dapat menjaga independensi proses pemilihan penyedia.

Pencegahan Korupsi dalam Pelaksanaan Kontrak

Tahap pelaksanaan kontrak juga tidak luput dari perhatian. Surat edaran ini menggarisbawahi pentingnya mitigasi risiko korupsi oleh PPK selama kontrak berlangsung. Berikut adalah beberapa langkah konkret yang ditetapkan:

Transparansi Pembayaran: PPK diwajibkan memastikan bahwa kontraktor utama telah membayar subkontraktor sebelum melakukan pembayaran berikutnya.

Pemanfaatan Teknologi Digital: LKPP mendorong penggunaan aplikasi monitoring untuk memantau progres pekerjaan secara real-time. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi pengawasan dan memastikan kepatuhan terhadap kontrak.

Audit dan Sanksi: Jika audit BPK menemukan kelebihan pembayaran, penyedia harus mengembalikan dana tersebut ke kas negara. Penyedia yang tidak menindaklanjuti temuan audit akan masuk daftar hitam.

Selain itu, PPK dilarang melakukan perubahan kontrak yang dapat memengaruhi kompetisi saat proses pemilihan penyedia. Misalnya, perubahan tata cara pembayaran atau jenis kontrak. Langkah ini bertujuan untuk menjaga keadilan bagi semua pihak.

Menghadirkan Pengawasan yang Lebih Ketat

Untuk memastikan implementasi yang efektif, LKPP mendorong peningkatan kompetensi bagi semua pihak yang terlibat dalam pengadaan, termasuk PPK, Pejabat Pengadaan, dan pokja pemilihan. Pelatihan ini akan berfokus pada prinsip kehati-hatian, deteksi potensi kolusi, dan praktik pengadaan yang transparan.

Selain itu, LKPP juga menekankan pentingnya layanan pendampingan atau probity advice untuk paket pengadaan yang memiliki risiko tinggi. Layanan ini bertujuan memberikan masukan objektif dan mengurangi potensi pelanggaran.

Membangun Sistem yang Lebih Bersih dan Transparan

Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2024 ini bukan hanya sebuah dokumen regulasi, tetapi juga sebuah komitmen untuk memperbaiki tata kelola pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan langkah-langkah yang jelas dan terukur, LKPP berharap dapat membangun sistem pengadaan yang lebih bersih, transparan, dan berorientasi pada pelayanan publik.

Namun, implementasi aturan ini tentu membutuhkan dukungan semua pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah. Tanpa komitmen bersama, upaya ini hanya akan menjadi angan-angan di atas kertas.

“Pengadaan yang bersih adalah tanggung jawab kita bersama. Bukan hanya soal aturan, tetapi juga integritas,” tegas Hendi Prihadi di akhir pengumuman surat edaran ini.

Dengan langkah ini, pemerintah berharap dapat menciptakan iklim pengadaan yang tidak hanya bebas korupsi, tetapi juga memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.

 

(Tim Forjasib)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses