0 3 min 9 jam

Banyuwangi, 5 Mei 2025 –Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 kembali menegaskan pentingnya fleksibilitas dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, khususnya untuk proyek-proyek dengan skala terbatas. Salah satu poin yang menjadi sorotan publik dan pelaku pengadaan adalah Point 40a halaman 8 yang mengatur tentang Pengadaan Langsung Pekerjaan Konstruksi dengan nilai paling tinggi Rp400 juta.

Secara tekstual, regulasi ini menyebutkan bahwa metode pengadaan langsung dapat digunakan untuk memperoleh penyedia jasa konstruksi dengan batasan maksimal Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Namun, di balik angka dan narasi hukum tersebut, tersimpan dinamika yang layak untuk dikaji dari perspektif manajemen pengadaan publik dan tata kelola yang baik (good governance).

Legalitas dan Rasionalitas Pengadaan Langsung

Pengadaan langsung dalam Perpres ini merupakan bagian dari metode pemilihan yang sederhana namun efektif, diperuntukkan bagi pekerjaan konstruksi berskala kecil. Tujuannya jelas: mempercepat realisasi pembangunan, memotong birokrasi yang berbelit, serta mendorong partisipasi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) di daerah.

Namun, fleksibilitas ini menyimpan tantangan tersendiri. Dengan nominal yang mencapai hampir setengah miliar rupiah, tanpa mekanisme tender terbuka, potensi terjadinya konflik kepentingan dan praktik nepotisme pun tak dapat diabaikan. Dalam praktiknya, penyedia dapat ditunjuk secara langsung oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), asalkan memenuhi persyaratan administrasi dan teknis minimum.

Celah dan Etika Pengadaan

Batasan Rp400 juta bukan hanya angka, namun merupakan ambang etis dan administratif yang rentan disalahgunakan. “Split contract” atau pembelahan paket pengadaan agar tetap di bawah batas pengadaan langsung masih menjadi modus klasik yang menghantui dunia pengadaan, meski secara eksplisit dilarang oleh regulasi.

Salah satu pengamat pengadaan dari Forum Jasa Konstruksi Banyuwangi, Budi Kurniawan S. Amd. ST. SH., menyampaikan,
“Perpres 46/2025 membuka ruang gerak yang luas untuk efisiensi, tapi sekaligus menuntut profesionalisme tinggi dari para pelaksana. Harus ada integritas, pengawasan, dan digitalisasi sebagai sistem kontrol.”

Menjaga Transparansi dan Akuntabilitas

Penting dicatat bahwa sistem pengadaan langsung bukanlah celah hukum, melainkan skema sah untuk mempercepat pembangunan mikro, terutama di daerah. Untuk itu, dibutuhkan penguatan sistem monitoring berbasis elektronik, seperti penggunaan aplikasi e-Kontrak, e-Monitoring, hingga integrasi dengan e-Katalog lokal, agar akuntabilitas tidak terpinggirkan.

Selain itu, publik juga harus dilibatkan dalam kontrol sosial. Keterbukaan informasi mengenai paket-paket pengadaan langsung, termasuk pelaporan realisasi dan nama penyedia, menjadi kunci membangun kepercayaan masyarakat terhadap proyek pemerintah.

Pengadaan langsung senilai Rp400 juta dalam Perpres 46 Tahun 2025 bukan sekadar metode teknis, melainkan cermin dari wajah birokrasi dan niat reformasi. Regulasi ini akan menjadi alat percepatan pembangunan jika dilaksanakan dengan prinsip transparansi, integritas, dan akuntabilitas tinggi. Namun, bila disalahgunakan, ia akan menjelma menjadi lubang gelap korupsi yang membungkam keadilan anggaran publik.


Redaksi Media Forjasib mengajak seluruh stakeholder untuk mengawal implementasi Perpres ini secara kritis dan konstruktif, demi Indonesia yang lebih transparan dan efisien.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses