0 5 min 1 hari

Oleh: CWW, Pendiri Media Forjasib & Konsultan Hukum CWW Lawtech.

Forjasib-Bontang: Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 2 Tahun 2025 ibarat mata pisau bermata dua: di satu sisi menjanjikan efisiensi dan akselerasi pembangunan nasional, namun di sisi lain menyimpan potensi kerawanan administratif yang tak bisa diabaikan begitu saja. Disahkan pada 9 Mei 2025, beleid ini hadir dengan tajuk yang mengundang diskursus: Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui Penyedia dengan Penunjukan Langsung dalam Pelaksanaan Program Prioritas Pemerintah, Bantuan Pemerintah, dan/atau Bantuan Presiden berdasarkan Arahan Presiden.

Saya, sebagai seorang pengamat hukum publik yang telah menulis sejak era Reformasi, membaca sinyal kuat dari regulasi ini: ada upaya negara untuk merespons kebutuhan taktis dalam proyek-proyek strategis, terutama yang berbasis pada arahan presiden. Namun, apakah ini langkah reformatif atau justru bentuk baru dari executive overreach?

Urgensi dan Rasionalisasi: Membangun dengan Cepat

Pasal-pasal awal dalam peraturan ini secara gamblang mengindikasikan kebutuhan pemerintah dalam mengeksekusi program prioritas nasional dengan metode penunjukan langsung, sebuah mekanisme pemilihan penyedia barang/jasa tanpa melalui tender terbuka. Penunjukan langsung diizinkan dalam dua skenario: pertama, jika dokumen arahan Presiden secara eksplisit menyebut metode ini (Pasal 3); dan kedua, bila menteri/kepala lembaga menilai urgensinya cukup, meskipun dokumen tidak menyebutnya (Pasal 4).

Dalam praktiknya, sistem ini menjanjikan kecepatan. Program prioritas pemerintah, bantuan presiden, dan bantuan pemerintah—sering kali bersifat insidental, mendesak, dan berisiko tinggi secara sosial-politik jika tertunda—memerlukan eksekusi instan. Namun, percepatan bukan tanpa harga.

Kritik Konstitusional dan Potensi Celah

Membaca antara baris, saya melihat celah yang perlu mendapat perhatian ekstra. Pasal 4 ayat (1) membuka ruang subjektivitas yang besar pada level menteri/kepala lembaga untuk menetapkan suatu program sebagai arahan Presiden, cukup dengan dokumen tertulis dan konfirmasi kesekretariatan negara. Ini rentan terhadap tafsir manipulatif, dan dalam skenario ekstrem, bisa menjadi pintu masuk legalized favoritism.

Lebih lanjut, Pasal 6 memperluas cakupan pelaku usaha yang dapat ditunjuk, dari BUMN hingga individu perorangan. Di sini saya bertanya: di mana batas pengawasan? Apakah sistem pascakualifikasi sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 7 akan cukup kuat menyaring kualitas dan integritas penyedia? Atau akankah ini menjadi ladang baru bagi praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang selama ini justru ingin diberantas oleh LKPP?

Probity Audit dan Pakta Integritas: Harapan atau Formalitas?

Regulasi ini secara normatif telah mencantumkan pakta integritas dan pendampingan audit oleh APIP (Pasal 10). Ini langkah yang patut diapresiasi. Namun, dari pengalaman saya mendampingi berbagai perkara pengadaan barang/jasa, pakta integritas sering kali hanya menjadi ritual administratif tanpa daya gigit. Apalagi jika dalam kenyataannya, penyedia yang ditunjuk sudah “dipesan” oleh aktor politik atau elit birokrasi.

Probity audit semestinya bersifat wajib dan independen, bukan sekadar compliance prosedural. LKPP perlu membentuk unit pengawasan lintas sektor yang bersinergi dengan KPK dan BPK, sehingga integritas dalam penunjukan langsung ini tidak hanya menjadi narasi legal, tapi implementasi faktual.

Epistemologi Tata Kelola: Antara Akselerasi dan Akuntabilitas

Peraturan ini merepresentasikan paradigma baru dalam pengadaan barang/jasa: dari tata kelola berbasis kompetisi menuju tata kelola berbasis kepercayaan institusional. Namun, kepercayaan tanpa mekanisme koreksi adalah bahaya laten dalam demokrasi. Ketika eksekutif diberi kuasa menunjuk penyedia atas dasar arahan yang tidak terstandarisasi secara rigid, maka sistem pengadaan bisa menjadi arena politik transaksional.

Sebagai seorang advokat dan penulis hukum pengadaan, saya melihat urgensi untuk melakukan regulatory sandboxing, yaitu uji coba terbatas dari penerapan peraturan ini, dengan evaluasi periodik berbasis data dampak dan audit risiko.

Penutup: Menuju Negara Proyek atau Negara Hukum?

LKPP Nomor 2 Tahun 2025 bukan sekadar aturan administratif, melainkan cermin ideologis dari arah pembangunan nasional. Kita dihadapkan pada pilihan antara menjadi negara proyek yang memburu hasil cepat tanpa struktur, atau tetap setia menjadi negara hukum yang membangun dengan tertib dan adil.

Jika negara memilih jalur ekspres, maka rambu-rambu pengaman harus diperkuat. Tidak cukup hanya pakta integritas. Harus ada transparansi publik, pengawasan independen, dan partisipasi masyarakat sipil. Karena bila tidak, penunjukan langsung bisa berubah menjadi penyesatan langsung.

CWW

Founder Media Forjasib | Konsultan Hukum, CWW Lawtech

Bontang, 11 Juni 2025

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses