
oleh : Budi Kurniawan s. A md. ST. SH (Firma Hukum CWW-LAWTECH)
(Banyuwangi, 27 Juli 2025) — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta telah menjatuhkan vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong). Dalam Putusan Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jkt.Pst yang dibacakan pada 18 Juli 2025, Tom Lembong dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi terkait izin impor gula.
Majelis Hakim, yang dipimpin oleh Dennie Arsan Fatrika, S.H., M.H., bersama Hakim Anggota Purwanto S Abdullah, S.H., M.H. dan Alfis Setyawan, S.H., M.H., memutuskan bahwa Tom Lembong terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Meski rincian lengkap putusan belum sepenuhnya tersedia, informasi yang beredar menyebutkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp750 juta, atau tambahan 6 bulan penjara jika denda tidak dibayar.
Yang paling menarik perhatian CWW LawTech adalah salah satu alasan kuat di balik vonis berat ini: Hakim menilai Tom Lembong terlalu mengedepankan “ekonomi kapitalis” saat menjabat. Ini dianggap mengabaikan prinsip demokrasi ekonomi dan keadilan sosial Pancasila dalam mengatur ketersediaan dan harga gula nasional.
Selain itu, Majelis Hakim juga menyoroti:
• Pelanggaran hukum: Tom Lembong tidak menjalankan asas kepastian hukum dan mengabaikan aturan yang ada.
• Tidak akuntabel: Ia tidak melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab, bermanfaat, dan adil terkait kebijakan harga gula.
• Abaikan hak konsumen: Hakim menyatakan Tom Lembong mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan gula dengan harga terjangkau.
Fakta persidangan menunjukkan Tom Lembong mengeluarkan 21 izin impor gula mentah untuk perusahaan swasta dan melibatkan koperasi dalam operasi pasar, yang dinilai melanggar keadilan dalam pengadaan kebutuhan pokok.
Putusan ini bukan sekadar hukuman korupsi biasa. Ini adalah peringatan serius bahwa orientasi ekonomi yang hanya mengejar “untung sebesar-besarnya” tidak lagi bisa seenaknya di Indonesia. Terutama jika hal itu bertabrakan dengan kebutuhan dasar masyarakat banyak dan nilai-nilai konstitusi Pancasila.
Analisis Filosofis: Apa Itu “Kapitalisme” dalam Kacamata Indonesia?
Secara filosofis, “kapitalisme” adalah sistem ekonomi di mana alat produksi (tanah, modal, mesin) dimiliki pribadi, pasar bebas menentukan harga dan alokasi sumber daya, serta keuntungan menjadi tujuan utama. Dalam pandangan ideal, kapitalisme bisa mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, sisi lain dari kapitalisme yang sering dikritik adalah potensi ketimpangan kekayaan, eksploitasi, dan pengabaian kepentingan sosial atau lingkungan demi profit.
Indonesia, dengan Pancasila dan UUD 1945, memilih jalur yang berbeda. Demokrasi Ekonomi Pancasila adalah filosofi yang mencari keseimbangan antara hak individu (seperti hak berusaha) dengan kepentingan bersama dan keadilan sosial. Ini bukan berarti menolak pasar atau usaha swasta, tetapi menempatkan pasar dalam kerangka moral dan konstitusi yang lebih luas. Jika motif kapitalis murni—yaitu mengejar keuntungan tanpa batas—bertabrakan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan keadilan sosial yang menjadi landasan bangsa, maka itu dianggap sebagai penyimpangan. Putusan Hakim Tipikor ini menegaskan bahwa ada batasan etika dan moral yang harus dipatuhi oleh semua pelaku ekonomi di Indonesia, terutama pejabat negara.
Dimensi Historis: Perjalanan Ekonomi Indonesia
Sejarah ekonomi Indonesia diwarnai oleh tarik-menarik berbagai pemikiran. Sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa menyadari bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh sepenuhnya meniru model liberalisme Barat yang cenderung mengabaikan keadilan sosial. Pasal 33 UUD 1945 adalah bukti sejarah penolakan terhadap kapitalisme tanpa batas dan komitmen pada ekonomi kekeluargaan, di mana negara menguasai cabang produksi penting demi kemakmuran rakyat.
Di masa lalu, ada upaya negara untuk mengendalikan praktik-praktik bisnis yang merugikan publik. Contohnya, putusan-putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait praktik kartel atau monopoli yang merugikan konsumen, seperti Putusan KPPU No. 07/KPPU-I/2013 tentang kartel impor sapi yang mempengaruhi harga daging. Ini menunjukkan bahwa hukum selalu berupaya mengendalikan dampak negatif pasar.
Dalam kasus Tom Lembong ini, penambahan frasa “motif kapitalistik” sebagai faktor pemberat adalah kelanjutan sejarah penegasan bahwa ekonomi Indonesia punya ciri khas yang tidak mentolerir keuntungan yang merusak negara, apalagi jika dilakukan oleh pejabat publik yang seharusnya melayani rakyat.
Landasan Yuridis: Kapitalisme yang “Dibatasi” Hukum Indonesia
Secara hukum, “paham ekonomi kapitalis” itu sendiri bukanlah pelanggaran. Ini adalah sebuah sistem. Namun, praktik-praktik yang lahir dari paham tersebut bisa melanggar hukum positif Indonesia jika bertentangan dengan konstitusi dan undang-undang. Di sinilah poin hukum putusan Pengadilan Tipikor Jakarta menjadi sangat penting.
Hakim secara jelas mengacu pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, khususnya ayat (2) dan (3):
• Ayat (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
• Ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Tindakan ini melanggar semangat Pasal 33 UUD 1945 karena mengabaikan kontrol negara atas kebutuhan pokok rakyat dan justru menyengsarakan produsen serta konsumen.
Selain UUD 1945, praktik impor ilegal dan kebijakan tidak adil juga bisa dijerat dengan:
• Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001. Jelas kasus ini masuk kategori korupsi, dengan motif kapitalis yang merugikan publik sebagai faktor pemberat.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. UU ini melarang impor yang merusak pasar domestik atau yang tidak sesuai izin, dengan ancaman pidana di Pasal 112 hingga 115.
• Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. UU ini mengatur perlindungan petani, ketahanan pangan, dan larangan praktik yang mengganggu ketersediaan pangan nasional, seperti penimbunan (Pasal 139). Poin tentang pengabaian hak konsumen juga relevan di sini.
• Contoh Kasus Lain: Seperti tentang korupsi izin impor daging sapi. Meski tidak secara langsung menyebut “kapitalisme”, putusan ini menunjukkan komitmen penegak hukum menindak praktik yang merusak kedaulatan pangan dan merugikan negara/masyarakat.
Intinya, hukum Indonesia menciptakan “kapitalisme yang dijinakkan” (tamed capitalism). Kebebasan berusaha ada, tapi tidak mutlak. Ia harus tunduk pada moral konstitusi dan kepentingan bersama. Pelanggaran terjadi saat praktik kapitalis melampaui batas hukum yang dirancang untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keadilan sosial.
Penutup: Kasus Tom Lembong dan Arah Demokrasi Ekonomi
Vonis Tom Lembong, dengan sorotan pada “kebijakan ekonomi kapitalis” sebagai faktor pemberat, menandai babak baru penegakan hukum ekonomi di Indonesia. Ini menegaskan bahwa pelanggaran terhadap semangat Pasal 33 UUD 1945 bukan lagi sekadar masalah administrasi. Ini bisa berujung pada hukuman pidana berat, terutama jika didorong oleh “paham ekonomi kapitalis” yang merusak.
CWW LawTech memahami urgensi ini. Untuk membantu perusahaan dan pembuat kebijakan menavigasi kompleksitas hukum ekonomi Indonesia, kami menghadirkan pendampingan yang dirancang untuk mengukur risiko praktik bisnis dan kebijakan yang berpotensi bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi Pancasila, sebelum menimbulkan masalah hukum. Kami percaya, dengan teknologi, kepatuhan terhadap konstitusi bukan lagi beban, melainkan aset penting.
Apakah langkah hukum ini akan menjadi contoh baru bagi pengadilan di Indonesia untuk menindak praktik bisnis atau kebijakan yang dianggap “kapitalis liar” demi tercapainya keadilan ekonomi? Ini adalah pertanyaan penting yang akan menentukan masa depan demokrasi ekonomi Pancasila.