Ketika hukum kehilangan nurani, keadilan berubah menjadi teks tanpa jiwa. Saatnya hukum Indonesia kembali berpihak pada rasa, bukan sekadar pasal.
Dari Positivisme ke Krisis Nurani
Sebagai bangsa yang kaya akan sistem nilai, kita justru terjebak dalam warisan legisme positivistik: tradisi hukum yang menuhankan pasal-pasal dan mengabaikan rasa keadilan (living law). Ironisnya, fakultas-fakultas hukum masih menjadikan positivisme kaku itu sebagai altar suci. Mahasiswa dilatih menghafal pasal, bukan memahami manusia. Lulusan hukum akhirnya seperti mesin pencari ayat undang-undang—mudah digantikan kecerdasan buatan (AI)—karena kemampuan menimbang rasa dan konteks sosialnya tumpul.
Mens Rea yang Direduksi: Hukum Tanpa Nurani
Salah satu gejala paling berbahaya dari formalisme ini adalah penyempitan makna mens rea—niat jahat dalam hukum pidana. Dalam praktik, dolus (kesengajaan) dan culpa (kelalaian) sering direduksi menjadi satu hal: “karena sudah terjadi, maka pasti ada kesalahan.” Pendekatan seperti ini menghapus seluruh dimensi moral dan psikologis dari pelaku.
Dalam banyak kasus, terutama konflik antara masyarakat adat dan korporasi, negara justru berpihak pada kepentingan modal, bukan pada keadilan yang hidup dalam komunitas lokal.
Sampai kapan hakim dan penegak hukum menutup mata atas panggilan nurani? Apakah kepastian hukum yang rapuh itu pantas ditegakkan dengan mengorbankan rasa keadilan rakyat?
Dekolonisasi yang Belum Usai
Sebagai pemerhati Hukum Adat, saya percaya akar masalah ini adalah gagalnya dekolonisasi hukum Indonesia. Sejak zaman Van Vollenhoven, kita mengenal 19 lingkungan hukum adat yang mencerminkan pluralitas bangsa. Namun, setelah kemerdekaan, hukum adat dipinggirkan, bahkan dihapus dari ruang akademik dan praktik hukum modern.
Kita bangga menyebut diri merdeka, tapi masih memakai “software” kolonial dalam berpikir hukum. Bagaimana mungkin masyarakat adat yang tidak menulis peraturan di atas kertas dipaksa membuktikan haknya dengan dokumen legal dan CCTV? Inilah absurditas hukum positivistik: ia menolak kebenaran yang hidup hanya karena tidak tercatat di kertas.
Sudah saatnya kita berhenti memandang restorative justice sekadar sebagai diskresi hukum. Ia harus menjadi imperatif moral dan konstitusional—cara bangsa ini menegakkan keadilan melalui musyawarah, bukan sekadar penghukuman.
Etika Aparatus dan Resiliensi Sistem
Masalah hukum kita bukan kurangnya aturan—justru kita punya terlalu banyak. Kita memiliki KPK, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, hingga rancangan UU Perampasan Aset. Tapi mengapa korupsi tetap subur? Jawabannya sederhana: karena moralitas penegak hukum tidak ikut tumbuh.
Kelebihan regulasi tanpa fondasi etika hanya melahirkan birokrasi yang gemuk, bukan keadilan yang kuat. Semua lembaga akan lumpuh jika manusia di dalamnya kehilangan integritas. Dalam dunia yang semakin dikendalikan teknologi dan AI, yang paling dibutuhkan bukan kecerdasan digital, tapi kecerdasan nurani.
Kembali ke Hukum yang Hidup
Negara dan aparat penegak hukum harus berani beradaptasi dengan dunia yang berubah cepat, tapi tanpa kehilangan akar nilai bangsa. Hukum tidak boleh lagi menjadi alat manipulasi bagi yang berkuasa. Ia harus kembali menjadi manifestasi jiwa bangsa—Lex Vivendi, hukum yang hidup.
Keadilan bukan sekadar pasal dalam undang-undang, tapi napas dalam kehidupan masyarakat. Dan selama hukum masih berjarak dari nurani rakyatnya, keadilan sejati akan tetap menjadi utopia—dijaga dengan retorika, bukan dengan keberanian moral.
