Oleh : cww
Jakarta;Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, penyusunan regulasi daerah idealnya berlandaskan prinsip kehati-hatian, kepastian hukum, dan keselarasan terhadap norma yang lebih tinggi. Kenyataannya, sejumlah peraturan daerah lahir tanpa kajian memadai, mengabaikan partisipasi publik, atau berpotensi menyalahi hierarki peraturan sehingga mengancam kepentingan warga negara.
Di sinilah Hak Uji Materiil (HUM) di Mahkamah Agung tampil sebagai instrumen korektif. HUM bukan sekadar prosedur teknis; ia adalah mekanisme yudisial yang memastikan produk hukum daerah diuji konsistensinya terhadap Undang-Undang dan norma konstitusional. Ketika aturan daerah melampaui kewenangan atau menimbulkan kerugian hak, HUM menjadi sarana legitim dan final untuk memperbaiki keadaan.
Ruang lingkup HUM menegaskan akses hukum bagi siapa saja yang merasa dirugikan oleh keberlakuan suatu peraturan. Dengan dukungan UUD 1945, ketentuan Mahkamah Agung, serta Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011, negara menyediakan jalur hukum yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Prosedur dapat ditempuh secara langsung ke Mahkamah Agung atau melalui pengadilan negeri/PTUN yang wilayah hukumnya relevan. Kedua jalur pada akhirnya mengarah ke pengujian substantif oleh majelis hakim agung.
Esensi dari prosedur itu sederhana: pemohon menyampaikan dalil-dalil yang menunjukkan adanya pertentangan norma atau kerugian hak; panitera memverifikasi kelengkapan berkas; termohon diberi kesempatan menjawab; dan majelis menimbang berdasarkan hukum yang berlaku. Bila Mahkamah Agung menemukan adanya pertentangan terhadap undang-undang atau norma yang lebih tinggi, putusan dapat menyatakan peraturan tidak sah dan memerintahkan pencabutan.
Konsekuensi praktisnya signifikan. Putusan MA wajib dipublikasikan dalam Berita Negara dalam waktu tertentu dan dikirimkan kepada pejabat pembuat peraturan. Jika setelah putusan instansi terkait tidak melaksanakan pencabutan dalam jangka waktu yang diatur, peraturan tersebut gugur demi hukum. Selain itu, putusan HUM bersifat final dan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali, menjadikannya alat kontrol yang tegas terhadap produk hukum yang cacat.
Pesan utama ini ditujukan kepada pemerintah daerah: tata kelola regulasi harus berpegang pada tiga asas fundamental. Pertama, asas kesesuaian hierarki peraturan; produk hukum daerah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang nasional. Kedua, asas kejelasan rumusan; norma harus dirumuskan agar dapat dipahami dan diimplementasikan tanpa multitafsir. Ketiga, asas kewenangan yang sah; pejabat pembuat aturan tidak boleh melampaui kompetensinya (ultra vires).
Melanggar asas-asas tersebut bukan hanya kesalahan administratif. Ia membuka ruang litigasi substantif yang berpotensi menggugurkan dasar hukum kebijakan dan menimbulkan biaya politik maupun ekonomi. HUM menjadi pilihan rasional bagi warga dan pelaku usaha yang terdampak: bukan tindakan agresif semata, melainkan upaya restoratif untuk menegakkan supremasi hukum.
HUM juga berfungsi sebagai pengingat akademis dan etis: legitimasi regulasi tidak cukup ditentukan oleh prosedur formal semata, tetapi juga oleh kesesuaian substansi terhadap norma yang lebih tinggi serta perlindungan hak warga. Oleh karena itu, pembuat kebijakan daerah hendaknya mengedepankan kajian hukum mendalam, konsultasi publik, dan asesmen dampak regulasi sebelum mengesahkan produk hukum.
Secara praktis, calon pemohon hendaknya menyiapkan argumentasi hukum yang terstruktur: identifikasi norma yang diuji, uraian konkrit tentang bagaimana norma tersebut merugikan hak atau bertentangan dengan undang-undang, serta bukti administratif yang relevan. Penyusunan permohonan yang komprehensif memperbesar kemungkinan diterimanya berkas dan mempercepat proses pemeriksaan. Di sisi lain, pejabat pembuat peraturan dan aparat birokrasi dianjurkan merespons secara proaktif; membuka ruang dialog dan meninjau ulang regulasi bermasalah sebelum berujung pada sengketa yudisial yang merugikan publik.
Kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan pemerintah dalam program pelatihan regulasi dapat mencegah kesalahan teknis serta meminimalkan potensi sengketa hukum di masa mendatang.
Hukum harus dijunjung tinggi oleh semua pihak.
— Budi Kurniawan S. Amd., ST., SH.
Founder CWW Lawtech dan Komite Etik Perkumpulan Advokat dan Pengacara Nusantara wilayah Jawa Timur dan Bali
