Catatan Pengingat Tata Kelola PBJ yang Kondusif di Kabupaten Banyuwangi
Oleh : CWW
Dalam sistem pengadaan barang/jasa pemerintah, risiko terbesar bukan selalu berasal dari kegagalan teknis pekerjaan, melainkan dari kelalaian administratif yang berdampak hukum dan keuangan negara. Salah satu instrumen mitigasi yang sering diremehkan, namun justru paling strategis, adalah Jaminan Pelaksanaan (JP)—terutama pada transaksi dengan nilai di atas Rp200 juta.
Perpres Nomor 46 Tahun 2025 secara tegas menempatkan jaminan pelaksanaan bukan sebagai pelengkap formal, melainkan sebagai instrumen utama manajemen risiko kontrak. Dalam konteks ini, JP menjadi penyangga kepentingan negara jika terjadi wanprestasi, keterlambatan, atau kegagalan pelaksanaan pekerjaan.
HPS, Pagu, dan Logika Risiko
Pertanyaan klasik dalam praktik PBJ adalah: yang menjadi rujukan jaminan itu HPS, pagu anggaran, atau nilai kontrak?
Jawabannya tidak bisa tunggal, karena logika jaminan bekerja berbasis risiko, bukan semata angka.
Mari kita lihat simulasi sederhana pada paket pekerjaan konstruksi dengan nilai pagu/HPS Rp500 juta:
Penawaran Wajar (80–100%)
Jika penyedia mengajukan penawaran Rp450 juta, maka penawaran masih berada dalam rentang wajar (80–100% dari pagu).
Dalam skema ini, jaminan pelaksanaan ditetapkan sebesar 5% dari nilai kontrak, yaitu:
5% x Rp450 juta = Rp22,5 juta.
Nilai ini mencerminkan bahwa risiko pelaksanaan masih dalam batas terkendali.
Penawaran Rendah (<80%)
Jika penyedia mengajukan penawaran Rp390 juta, maka harga sudah berada di bawah 80% dari pagu.
Pada kondisi ini, sistem pengadaan secara sadar menaikkan tingkat mitigasi risiko.
Jaminan pelaksanaan tidak lagi dihitung dari nilai kontrak, tetapi ditetapkan sebesar 5% dari HPS/pagu, yaitu:
5% x Rp500 juta = Rp25 juta.
Selisih ini bukan kebetulan, melainkan premi asuransi bagi PPK. Negara sengaja menaikkan jaminan untuk menutup potensi kegagalan akibat penawaran terlalu rendah yang berisiko menurunkan mutu atau memicu wanprestasi.
Mini Kompetisi Versi 6: JP Tidak Berhenti di Sistem
Dalam mini kompetisi versi 6, Perpres 46/2025 memperjelas bahwa BPK/PPK memegang peran aktif. Jaminan pelaksanaan:
Wajib diunggah,
Diberikan batas waktu maksimal 14 hari kalender sejak penandatanganan hasil negosiasi,
Dapat dilampirkan setelah Surat Pesanan ditandatangani, namun harus ada sebelum pelaksanaan efektif,
Wajib dipantau hingga serah terima barang/pekerjaan.
Dengan demikian, JP bukan sekadar dokumen unggahan, tetapi alat kendali risiko yang hidup sepanjang siklus kontrak.
Relasi dengan Jaminan Pemeliharaan
Pada pekerjaan konstruksi yang memiliki masa pemeliharaan, jaminan pelaksanaan juga harus dipahami relasinya dengan jaminan pemeliharaan:
Jaminan pemeliharaan sebesar 5% dari nilai kontrak,
Berlaku saat penyedia menerima uang retensi,
Tidak ada additional handover,
Jaminan harus dikembalikan maksimal 14 hari kerja setelah masa pemeliharaan berakhir.
Kesalahan memahami perbedaan ini sering menjadi sumber temuan audit dan konflik kontraktual.
Pengingat untuk Banyuwangi
Dengan memahami perbedaan perhitungan jaminan—antara nilai kontrak, HPS, dan pagu—PPK dapat memastikan bahwa setiap transaksi di atas Rp200 juta benar-benar terlindungi secara hukum.
Di sinilah jaminan pelaksanaan menemukan makna sejatinya:
bukan sebagai beban administratif, tetapi sebagai wujud akuntabilitas dan kehati-hatian pengelolaan uang publik.
Jika prinsip ini dijalankan secara konsisten, maka PBJ di Kabupaten Banyuwangi tidak hanya patuh regulasi, tetapi juga kondusif, kredibel, dan berorientasi pada perlindungan keuangan negara.
Karena pada akhirnya, kontrak boleh selesai, tetapi tanggung jawab hukum selalu melekat.
