
Kontraktual PBJ, Kas Tertahan
Ketika kontrak kerja sudah diteken, progres fisik telah dicapai, dan penyedia barang/jasa telah menunaikan kewajiban, apa jadinya jika termin pembayaran justru tersendat karena kas daerah belum tersedia? Inilah paradoks yang masih menghantui sebagian besar pemerintah daerah, termasuk Kabupaten Banyuwangi, meski regulasi telah memberikan peta jalan yang terang melalui PP Nomor 12 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020.
Kerangka Regulasi: Pijakan Yuridis Pencairan PBJ
Dua regulasi besar ini adalah fondasi normatif pengelolaan keuangan daerah:
• PP Nomor 12 Tahun 2019 menegaskan pada Pasal 3 ayat (1) bahwa keuangan daerah harus dikelola secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab, serta menjunjung keadilan dan kepatutan.
• Permendagri 77/2020 kemudian menjadi pedoman teknis, yang mengatur mekanisme pencairan termin melalui SPM dan SP2D berbasis DPA-SKPD yang telah disahkan (Pasal 2 huruf e dan f).
Namun tantangan lapangan sering kali bukan pada aturan—melainkan pada implementasi dan kesiapan likuiditas kas.
Kendala Kas & Ketimpangan Arus Dana
Berdasarkan hasil monitoring FORJASIB, realisasi pencairan PBJ tahap termin kerap menghadapi kendala:
• SPD Tertunda, karena kas daerah belum ready. Padahal penyedia sudah menyelesaikan pekerjaan.
• Ketimpangan arus pendapatan vs belanja, utamanya karena ketergantungan pada transfer pusat (DAK, DBH, SBSN).
• Rendahnya kualitas perencanaan kas, tidak responsif terhadap dinamika kontrak konstruksi.
Sesuai Pasal 80 PP 12/2019, pengelolaan anggaran kas harus mengatur ketersediaan dana secara cukup, namun pada praktiknya daerah cenderung menomorduakan realisasi tepat waktu.
Risiko Hukum & Imbas Ekonomi
Ketika termin pembayaran terhambat:
• Penyedia terpaksa menalangi pekerjaan hingga ratusan juta rupiah—meningkatkan biaya bunga.
• Potensi pelanggaran kontrak jika keterlambatan pembayaran terjadi tanpa dasar.
• Penurunan kredibilitas PBJ daerah yang akan berdampak jangka panjang pada minat pelaku usaha untuk ikut tender.
Padahal menurut Pasal 4 ayat (2) PP 12/2019, kepala daerah bertanggung jawab menjaga keseimbangan dan keberlangsungan keuangan daerah, termasuk memastikan hak penyedia dibayar tepat waktu.
Tantangan Khas Banyuwangi
Sebagai kabupaten besar yang tengah tumbuh dengan proyek infrastruktur strategis (sering kali berbasis DAK/SBSN), Banyuwangi menghadapi tiga dilema utama:
• Penyesuaian jadwal kas pusat vs progres lapangan. Proyek selesai, tapi dana pusat belum cair.
• Kurang fleksibel-nya kas cadangan daerah. Idealnya, ada ruang fiskal lokal untuk “menalangi” sebelum transfer pusat masuk.
• Kurangnya sinkronisasi antara TAPD dan SKPD teknis, menyebabkan miskomunikasi soal likuiditas dan jadwal SPM.
Rekomendasi Strategis untuk Banyuwangi
Agar tidak terjebak dalam jebakan cash flow, Banyuwangi perlu strategi berbasis regulasi dan inovasi daerah:
1. Susun Anggaran Kas Mikro berbasis Termin
Melalui Pasal 2 huruf e Permendagri 77/2020, pengelolaan kas harus di-breakdown sampai level termin PBJ. Tidak cukup hanya proyeksi bulanan—melainkan harian dan berbasis dokumen kontrak.
2. Bangun Dana Talangan Internal
Kebijakan dana talangan APBD untuk sementara mendanai pekerjaan strategis sebelum DAK/DBH cair sangat urgen. Hal ini sah secara prinsip manajemen kas daerah.
3. Revitalisasi Peran Kuasa BUD & KPA
Mereka adalah penentu akselerasi pencairan. Pelatihan lanjutan dan SOP baru berbasis digital akan mendorong efisiensi.
4. Integrasi dengan Sistem Informasi Pusat
Koneksi sistem ke SAKTI, SIPD, dan e-Kontrak LKPP harus optimal agar data realisasi, verifikasi, dan pengajuan termin saling terkoneksi.
Penutup: Menuju PBJ yang Likuid dan Kredibel
Paradigma pengelolaan keuangan daerah kini menuntut bukan hanya sekadar taat aturan, tapi juga responsif terhadap kebutuhan pembangunan. Pencairan termin PBJ bukan sekadar urusan teknis, tapi cermin wajah good governance. Maka, sudah saatnya Banyuwangi—dengan semua potensi dan reputasinya—memimpin praktik pencairan PBJ yang lebih cepat, transparan, dan adil bagi semua pihak.
“Administrasi yang lambat adalah bentuk baru dari ketidakadilan fiskal.”