0 4 min 15 jam

 

Oleh: CWW

12 Mei 2025 | 23:30 WIB

Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 telah resmi menggantikan Perpres 12/2021 dan 16/2018. Substansi penting dari regulasi ini tidak hanya merombak aspek prosedural pengadaan barang/jasa pemerintah, tetapi juga memperkuat filosofi kontrak dan prinsip good governance, terutama dalam ranah penanganan dugaan pelanggaran.

Kontrak PBJ: Antara Filosofi Perikatan dan Perlindungan Hukum

Dalam hukum perdata Indonesia, kontrak adalah buah dari kesepakatan dua pihak atau lebih yang memiliki kekuatan mengikat sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320. Sementara dalam konteks pengadaan, kontrak adalah manifestasi administratif dari hasil proses seleksi dan penetapan penyedia.

Prinsip ini diperkuat melalui Perpres 46/2025 Pasal 77 yang menyatakan bahwa laporan pengaduan masyarakat atas penyimpangan PBJ harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme administratif sebelum dibawa ke ranah pidana.

Pasal 77 Perpres 46/2025:
“Setiap laporan penyimpangan PBJ wajib ditindaklanjuti lebih dahulu melalui mekanisme administrasi dan hanya diteruskan ke aparat penegak hukum jika terbukti mengandung unsur pidana seperti suap, gratifikasi, atau persengkongkolan.”

Mengapa Ini Penting?

Selama ini, pelaku PBJ kerap dilanda ketakutan akan kriminalisasi. Banyak kasus dimana kesalahan administratif dijadikan alat masuknya pidana. Perpres 46/2025 hadir untuk menyeimbangkan perlindungan dan akuntabilitas, serta memberikan ruang pembelajaran dalam sistem pengadaan.

“Kesalahan prosedur bukan berarti kejahatan. Negara wajib memisahkan kesalahan administrasi dari unsur pidana, demi keadilan hukum dan keberlanjutan pembangunan.” – CWW

Perbandingan Implementasi: Indonesia vs Dunia Internasional

Aspek Kontrak PBJ Indonesia Model Internasional (FIDIC/UNCITRAL)
Perikatan Kontrak terikat regulasi dan sertifikasi PBJ Berdasarkan konsensus teknis, negosiasi terbuka
Penegakan Hukum Berbasis regulasi Perpres dan pengawasan APIP Diselesaikan melalui arbitrase atau klausa mediasi
Penanganan Sengketa Diawali proses audit administratif (APIP) Menggunakan kontrak ADR (Alternative Dispute Resolution)
Fokus Kepatuhan & keuangan negara Efisiensi, kualitas proyek, dan kecepatan penyelesaian

Peran APIP dan Sinergi Integritas Kontrak

Pasal 77 ayat 2 menegaskan bahwa aduan masyarakat wajib diteruskan ke APIP sebelum aparat penegak hukum bergerak. Hal ini sejalan dengan filosofi asas subsidiaritas dalam hukum administrasi: upaya internal penyelesaian lebih diutamakan dibanding represif yudisial.

Langkah ini menguatkan peran Inspektorat (APIP) sebagai mitra pembangunan yang edukatif, bukan represif. Artinya, Inspektorat bukan tukang periksa, tapi penjaga akuntabilitas dan mitra manajemen risiko daerah.

Saran Strategis untuk Banyuwangi

  1. Perkuat Inspektorat sebagai pengawal regulasi PBJ, dengan pelatihan dan sertifikasi digital forensik PBJ.
  2. Terapkan kontrak berbasis kinerja untuk seluruh proyek APBD, sehingga mengukur hasil bukan hanya output.
  3. Bangun sistem early warning system di tingkat OPD untuk memantau progres, deviasi, dan risiko PBJ.
  4. Kolaborasi multipihak dengan asosiasi jasa konstruksi lokal, media, dan auditor independen untuk menjaga integritas proyek strategis daerah.

Saatnya Kontrak PBJ Tidak Lagi Menakutkan

Perpres 46/2025 bukan sekadar mengganti norma. Ia adalah transformasi filosofi: dari ketakutan menjadi kepercayaan. Dari pengawasan berbasis rasa curiga menjadi sinergi berbasis prinsip etika, asas hukum, dan efisiensi anggaran.

Sebagai bangsa yang besar, sudah saatnya kita memiliki sistem pengadaan yang melindungi niat baik dan menghukum niat jahat secara proporsional.

Mari kita dorong semangat pengadaan yang manusiawi, profesional, dan berkeadilan—sebuah legacy bagi generasi penerus negeri.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses