Oleh : cww
Banyuwangi;Dalam lanskap penegakan hukum Indonesia, sebuah gelombang besar baru saja mengguncang institusi yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai “super power”—Kejaksaan Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XXIII/2025 menjadi titik balik penting yang mengikis satu fondasi lama: keharusan meminta izin Jaksa Agung sebelum memproses jaksa yang diduga melakukan tindak pidana. Dengan kata lain, MK secara eksplisit menyatakan bahwa tidak boleh ada ruang kebal hukum bagi aparatur penegak hukum mana pun.
Putusan ini bukan hanya koreksi normatif, melainkan penanda zaman. Ia menggeser kultur kekuasaan yang selama ini menempatkan jaksa sebagai entitas yang sulit disentuh hukum, sekaligus menciptakan momentum baru bagi Polri dan KPK untuk bertindak tanpa halangan administratif. MK ingin memastikan bahwa due process of law bukan hanya jargon, tetapi mekanisme yang bekerja untuk semua — termasuk mereka yang memegang palu penuntutan.
1. Kerangka Konstitusional: MK Mengembalikan Norma pada Rel Relnya
Jika dicermati, dokumen putusan MK menegaskan satu kaidah dasar: setiap pembatasan kewenangan penegak hukum harus tunduk pada asas kesetaraan di hadapan hukum, sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan yang mewajibkan izin Jaksa Agung untuk memanggil, menggeledah, menangkap, atau menahan jaksa, oleh MK dinilai:
1. Menimbulkan privilege yang tidak sejalan dengan prinsip equality before the law,
2. Menghambat efektivitas penyidikan,
3. Berpotensi mendorong impunitas,
4. Bertentangan dengan semangat check and balance antar-penegak hukum.
Dari dokumen putusan terlihat jelas bahwa pemohon menggugat pemusatan kewenangan di tangan Jaksa Agung sebagai bentuk dominance yang mengaburkan batas antara fungsi eksekutif dan fungsi penuntutan. MK kemudian menegaskan bahwa meski Kejaksaan berada di ranah eksekutif, ia tetap tunduk pada prinsip independensi dalam fungsi penuntutan — dan independensi itu tidak boleh berubah menjadi kekebalan.
Inilah koreksi konstitusional paling tajam dalam dekade terakhir.
2. Ketika “Pagar” Makan Tanaman: Kasus-Kasus yang Mandek Menguatkan Urgensi Putusan
Selama bertahun-tahun publik menyaksikan bagaimana sejumlah kasus pidana yang melibatkan jaksa aktif berjalan lamban, bahkan berhenti total. Dari kasus dugaan penggelapan barang bukti bernilai miliaran hingga dugaan keterlibatan pejabat tinggi kejaksaan dalam pusaran makelar perkara di Mahkamah Agung.
Putusan MK menjawab masalah itu secara langsung: penegakan hukum tidak boleh berhenti hanya karena pelakunya adalah penegak hukum.
Sinyal MK ini membuka ruang bagi KPK dan Polri untuk membuka kotak pandora kasus-kasus lama yang sebelumnya terhenti di pintu izin Jaksa Agung. Sebuah momentum reformasi sistemik yang tak boleh diabaikan.
3. Putusan Ini Bukan Serangan — Ini Restorasi Tatanan
Dalam dokumen, MK mengingatkan bahwa Kejaksaan adalah “lembaga pemerintahan yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan.” Status itu tidak menempatkan jaksa sebagai subjek istimewa yang harus dilindungi dari mekanisme kontrol pidana. Justru sebaliknya — karena diberi kekuasaan besar, pertanggungjawabannya harus semakin kuat.
Kewajiban meminta izin justru menimbulkan konflik kepentingan struktural:
bagaimana mungkin Jaksa Agung — yang membina, memimpin, mengevaluasi, dan memiliki relasi hierarkis dengan jaksa — sekaligus menjadi pintu awal proses penyidikan terhadap mereka?
Prinsip hukum modern menolak model seperti ini.
MK memutuskan untuk menormalkan ulang relasi antar penegak hukum — menghapus privilege — dan mengembalikan seluruh proses pada hukum acara pidana yang objektif dan terukur.
4. MK Menegaskan Pesan Moral: Kekuasaan Tanpa Pengawasan Akan Menyimpang
Dalam banyak bagian putusan, MK menggarisbawahi tiga asas kunci:
1. Due process of law
2. Independensi penegakan hukum
3. Pencegahan penyalahgunaan wewenang (abuse of power)
Kejaksaan memang perlu independensi dalam penuntutan, tetapi independensi tidak identik dengan imunitas. Independensi tanpa pengawasan hanyalah pintu menuju penyimpangan. Inilah titik di mana Putusan MK berfungsi bukan hanya sebagai koreksi hukum, tetapi juga peringatan etis.
Dalam konteks inilah opini awal ini — mengenai jaksa nakal, kasus mandek, praktik “pagar makan tanaman”, hingga dugaan keterlibatan pejabat tinggi Kejaksaan dalam jejaring makelar perkara — menemukan relevansinya. Putusan MK memberi dasar konstitusional bagi publik untuk menuntut pembersihan sistemik.
5. CWW: Lembaga Super Power Kini Kembali Jadi Super Accountable
CWW memandang bahwa putusan MK ini bukan hanya wacana hukum, melainkan peradaban baru dalam penegakan hukum Indonesia.
Kejaksaan harus dilindungi, tetapi bukan dipagari dengan tembok kekuasaan yang menghambat penegakan pidana ketika pelakunya justru bagian dari institusi tersebut.
KPK kini memiliki ruang untuk menguji ulang kasus-kasus lama. Polri tidak lagi terhenti di “pintu izin”. Advokat dapat menjalankan fungsi kontrol tanpa rasa gentar. Masyarakat pencari keadilan mendapatkan kepastian bahwa hukum tidak memandang jabatan. Inilah demokrasi hukum yang sesungguhnya: ketika kekuasaan tak lagi kebal, tetapi justru semakin bertanggung jawab.
Penutup: Putusan MK sebagai Momentum Kolektif
cww lawtech sebagai komunitas pengusaha intelektual dan jaringan advokasi nasional harus memaknai putusan ini sebagai peluang untuk memperkuat budaya oversight, memperluas ruang kontrol publik, dan memastikan bahwa Kejaksaan—sebagai institusi vital negara—beroperasi sesuai prinsip akuntabilitas modern.
Putusan MK ini adalah pesan jelas: Era kekebalan telah berlalu. Era pertanggungjawaban dimulai.
Dan seperti biasa, CWW hanya menambahkan satu kalimat sederhana:
“Hukum hanya akan naik kelas bila penegak hukumnya berani diperiksa.”
—cww
