Banyuwangi – Langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk memantau rekening bank dengan saldo di atas Rp1 miliar kembali menjadi sorotan. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 19 Tahun 2018, yang kini diperkuat dengan PMK Nomor 47 Tahun 2024, memberikan DJP kewenangan lebih luas untuk mengakses informasi keuangan ini. Tapi, apa dampak dari langkah ambisius ini bagi para wajib pajak dan dunia perbankan?
Langkah Berani Demi Transparansi atau Kontrol Berlebihan?
FORJASIB, Forum Jasa Konstruksi Banyuwangi, mengamati bahwa tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk memastikan DJP memiliki data perpajakan yang akurat. Dengan data yang lebih valid, DJP dapat menindak wajib pajak yang tidak patuh. Selain itu, Indonesia sebagai anggota Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes wajib menerapkan standar internasional transparansi perpajakan.
Namun, FORJASIB mempertanyakan apakah kebijakan ini berpotensi menimbulkan kontroversi. Pasalnya, pemantauan rekening pribadi dengan saldo di atas Rp1 miliar dianggap sebagian kalangan sebagai bentuk kontrol berlebihan. “Langkah ini penting untuk transparansi, tetapi juga harus dibarengi dengan kebijakan yang menjaga privasi dan kepercayaan nasabah bank,” ujar salah satu anggota FORJASIB.
Mekanisme dan Tantangan di Lapangan
Dalam kebijakan ini, bank diwajibkan melaporkan rekening pribadi dengan saldo minimal Rp1 miliar. Untuk rekening entitas, tak ada batasan saldo minimal. Bank juga harus menerapkan due diligence ketat sebelum membuka rekening baru, mencegah potensi penghindaran pajak. Pemilik rekening diingatkan untuk tidak berkolaborasi dengan bank dalam menutup akses DJP.
Tetapi, bagaimana pelaksanaannya di lapangan? Menurut pengamatan FORJASIB, mekanisme ini menambah beban administrasi bagi perbankan, yang mungkin perlu berinvestasi lebih dalam teknologi dan sumber daya manusia untuk memenuhi kewajiban ini. Selain itu, bagi nasabah, kebijakan ini bisa menimbulkan kekhawatiran terkait kerahasiaan data mereka.
Penguatan atau Penekanan?
Kebijakan ini dianggap oleh DJP sebagai langkah penting dalam memperkuat basis data perpajakan. Namun, FORJASIB menilai penting untuk menyeimbangkan antara upaya penguatan sistem perpajakan dengan menjaga stabilitas dan kepercayaan di sektor perbankan. Pengawasan yang lebih ketat memang dapat menekan angka penghindaran pajak, namun harus dilakukan dengan cara yang adil dan transparan.
FORJASIB juga mencatat, dengan berlakunya PMK Nomor 47 Tahun 2024, DJP mendapatkan landasan hukum yang lebih kuat. Namun, bagaimana kebijakan ini diimplementasikan dan diterima oleh masyarakat akan sangat menentukan keberhasilannya. FORJASIB berpendapat bahwa edukasi dan komunikasi yang baik dari pihak DJP akan menjadi kunci dalam memastikan kebijakan ini diterima dan dipahami dengan baik oleh para wajib pajak.
Apakah langkah ini akan menjadi inovasi besar dalam dunia perpajakan Indonesia atau justru memicu kontroversi baru? FORJASIB akan terus memantau perkembangan ini dan dampaknya bagi masyarakat luas, khususnya para pelaku usaha di sektor konstruksi yang seringkali berhubungan erat dengan perbankan dan perpajakan. (CWW)