0 3 min 11 bulan

FORJASIB-Jakarta, 21 Mei 2024 – Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri menuai protes dari kalangan mahasiswa. Di tengah kegeraman ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) membeberkan rincian penggunaan anggaran pendidikan yang tercatat dalam APBN 2024. Dari total Rp 665 triliun, Kemendikbudristek hanya mengelola Rp 98,9 triliun, atau sekitar 15%.

Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti menjelaskan bahwa dari seluruh anggaran pendidikan, sebesar 52% atau Rp 346,5 triliun dialokasikan untuk Transfer ke Daerah (TKD). Dana ini terutama digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sektor pendidikan daerah. Selain itu, 33% atau Rp 219 triliun dialokasikan untuk Kementerian Agama dan kementerian/lembaga lainnya, termasuk kebutuhan non-Kementerian/Lembaga (K/L).

Dampak pada Pendidikan Tinggi

Kenaikan UKT yang diprotes oleh mahasiswa ini terjadi di tengah besarnya anggaran pendidikan dalam APBN. Namun, fakta bahwa Kemendikbudristek hanya mengelola sebagian kecil dari total anggaran ini menimbulkan pertanyaan tentang efisiensi dan alokasi dana. Mahasiswa, yang menjadi pihak terdampak langsung, menilai bahwa kenaikan UKT tidak sejalan dengan besarnya anggaran yang seharusnya dapat menutupi biaya pendidikan.Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, mempertanyakan alasan kenaikan UKT, mengingat besarnya anggaran pendidikan yang mencapai Rp 665 triliun. Menanggapi hal ini, Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan bahwa anggarannya tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, dan tidak sepenuhnya dikelola oleh Kemendikbudristek.

Analisa Dampak ke Depan

Ke depan, dampak dari pembagian anggaran yang tidak merata ini bisa menjadi signifikan. Jika dana pendidikan terus dialokasikan lebih banyak ke kebutuhan administratif dan gaji PNS di daerah, inovasi dan peningkatan kualitas pendidikan bisa terhambat. Perguruan tinggi mungkin akan terus mengandalkan kenaikan UKT untuk menutup kekurangan dana operasional, yang pada gilirannya membebani mahasiswa dan orang tua.Selain itu, alokasi besar ke Kementerian Agama dan kementerian/lembaga lainnya menunjukkan bahwa ada banyak sektor yang mengklaim bagian dari anggaran pendidikan. Ini bisa menimbulkan tantangan dalam memastikan bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk tujuan pendidikan yang meningkatkan kualitas belajar-mengajar.

Kewenangan dan Perencanaan

Suharti menekankan bahwa Kemendikbudristek tidak memiliki peran dalam pengambilan keputusan pengalokasian anggaran. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017, kewenangan tersebut berada di tangan Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional serta Kementerian Keuangan. Hal ini menunjukkan adanya fragmentasi dalam pengelolaan anggaran pendidikan, yang bisa mengakibatkan kurangnya koordinasi dan efektivitas dalam penggunaannya.

Penutup

Situasi ini memerlukan evaluasi mendalam dan reformasi kebijakan agar anggaran pendidikan yang besar benar-benar berdampak positif pada kualitas pendidikan di Indonesia. Perguruan tinggi harus didorong untuk mencari sumber pendanaan alternatif selain UKT, sementara pemerintah perlu memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan untuk pendidikan digunakan secara optimal untuk meningkatkan mutu dan akses pendidikan bagi seluruh masyarakat.

Laporan oleh: [admin], Jurnal Pendidikan Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses